Literasi

Belajar Kiat Menulis Buku Keroyokan dengan Udo Z Karzi di Masa Pagebluk

Zulkarnaim Zubairi atau Udo Z Karzi dengan buku terbarunya “Romantika di Kampus Oranye: Dinamika FISIP Universitas Lampung dari Kisah Alumni” (FOTO : Dokumentasi Pribadi)

KAKI BUKIT – Rene Descartes mengatakan, “Cogito ergo sum.” (Aku berpikir maka aku ada). Jika dilengkapi dengan menuangkan hasil pikiran tersebut dalam sebuah dokumentasi, maka yang terjadi “Aku menulis aku eksis.” Menulis dan menerbitkan buku itu bukan narsis.

Itulah yang ada dalam diri seorang penulis asal Lampung yang bermukim di Bandarlampung. Nama lengkapnya Zulkarnain Zubairi namun saat menulis alumnus Fisip Universitas Lampung (Unila) ini menggunakan nama pena “Udo Z Karzi.” Sehari-hari Udo berprofesi sebagai jurnalis yang pernah bergabung dengan surat kabar terbesar di Lampung, Harian Lampung Post, tapi ia juga sastrawan dan budayawan muda Lampung yang menulis puisi, cerpen, dan esai di berbagai media massa lokal dan nasional sejak 1987.

Profesi yang melekat pada dirinya bertambah, ternyata Udo Z Karzi juga editor beberapa buku yang telah terbit sekaligus menjadi penerbit dari penulis yang ada di Lampung dan Sumatera Selatan (Sumsel). Sudah ada belasan judul buku yang ditulis dan diterbitkan dari beragam genre. Ada buku fiksi dan buku non fiksi.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Peraih Hadiah Sastra Rancage 2008 melalui buku kumpulan sajak berbahasa Lampung “Mak Dawah Mak Dibingi,” selama masa pagebluk sejak 2021 adalah penulis yang produktif dalam menulis buku keroyokan. “Ada saja undangan yang mengajak menulis bersama untuk beragam genre buku,” katanya.

Menurut Udo deretan daftar judul buku yang telah ditulisnya bareng penulis lain semasa dua tahun pandemi Covid-19 melanda Indonesia. “Mulanya, ikut menyumbang tulisan untuk buku berjudul Kemanusiaan pada Masa Wabah Corona: Renungan 110 Penulis yang diterbitkan Satupena dengan editor Nasir Tamara yang diterbitkan Balai Pustaka, Mei 2020,” ujarnya.

Kemudian Udo yang juga penyintas Covid-19 berinisiatif menerbitkan buku sendiri yang ditulis secara keroyokan. Buku tersebut berjudul “Mencari Lampung dalam Senyapnya Jalan Budaya” yang sekaligus buku memperingati usianya yang ke 50 tahun. Buku ini diterbitkan Pustaka LaBRAK pada Juni 2020. Juga ikut menulis dalam dalam buku “Demokrasi di Era Digital” dengan editor Nasir Tamara, penerbit Pustaka Obor 2021.

Buku lain yang memuat karya Udo Z Karzi diantaranya “Bersama Aksi Swadaya Menulis dari Rumah” yang diprakarasi penerbit Kosa Kata Kita. Kemudian berpartisipasi menulis dalam buku antologi: “Ayahku Jagoan” (Februari 2021), “Anakku Permataku” (Juni 2021), “Guruku Inspirasiku” (September 2021), “Hidup Berdamai dengan Corona” (November 2021), dan Autobiografi Mini: “Kisah-Kisah Hidupku” Volume 7 (Maret 2022).

Udo Z Karzi juga menyumbangkan puisi untuk buku “76 Penyair Membaca Indonesia” yang diterbitkan Teras Budaya Jakarta dan Taman Inspirasi Sastra Indonesia, Juli 2021, buku “93 Penyair Membaca Ibu, Antologi Bersama” Seri ke-2 Penyair Membaca Indonesia (Teras Budaya dan TISI, November 2021),

Buku terbaru dimana Udo menjadi penulis, editor sekaligus penerbit adalah “Romantika di Kampus Oranye: Dinamika FISIP Universitas Lampung dari Kisah Alumni” yang diterbitkan Pustaka LaBRAK dan IKA FISIP Unila, Maret 2022.

Pada masa pandemi Udo Z Karzi juga menerjemahkan puisi-puisi Edy Samudra Kertagama ke bahasa Lampung dengan judul “Bahasa Ibuku Bahasa Darahku” sebuah Antologi Bersama Dwibahasa. Seri pertama yang diterbitkan Teras Budaya dan Taman Inspirasi Sastra Indonesia, Februari 2022). Dan berhasil menyusun sekaligus menerbitkan sebuah buku dokumentasi karya para penulis sastra Lampung berjudul “Jejak-jejak Literer: Bibliografi Sastra Lampung 1960-2020” penerbit Pustaka LaBRAK, Februari 2021.

Udo mengaku dalam menulis buku keroyokan, dari tulisan yang disumbangkannya ada yang beri honor. “Tapi lebih banyak diberi buku sebagai tanda bukti terbit. Juga ada yang diminta kontribusi untuk biaya menerbitkan buku keroyokan tersebut. Dengan buku keroyokan ada fenomena baru, penulis buku minta sertifikat untuk menambah kredit atau poin yang dipakai guna kenaikan pangkat,” kata jurnalis yang pernah meraih penghargaan Kamaroeddin Award 2014 dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung.

Menurut Udo saat dinyatakan terkena Covid-19 ia melakukan isolasi mandiri. Selama masa isolasi sekitar tiga pekan dirinya merasakan bahwa menulis menjadi salah satu terapi penyembuhan. “Saya mencoba mengikuti apa yang dikatakan Ibnu Sina, ‘kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan.’ Juga dengan terapi mendengarkan alunan bacaan Alquran setiap saat dan terutama di tengah keheningan malam sampai tertidur,” ujarnya.

Menulis sebagai terapi penyembuhan sudah banyak diakui para ilmuwan. Dari menulis kemudian lahirlah buku-buku yang ditulis keroyokan tersebut. Pandemi covid-19 telah banyak membuat perubahan pada berbagai aspek kehidupan dan di berbagai bidang. Manusia harus adaftif dengan lingkungan dan keadaan sekitarnya. Demikian pula yan terjadi dalam dunia kepenulis. “Ketika banyak undangan untuk menulis buku bareng, maka undangan tidak bisa ditolak,” kata Udo.

Apa lagi ketika pemberlakuan Work From House (WFH) atau bekerja dari rumah. Setelah tugas dan pekerjaan selesai apa yang akan dilakukan? Apa harus bengong? Menulis adalah pilihan tepat di tengah pandemi lalu menerbitkanya menjadi sebuah buku baik sebagai karya tunggal atau karya bersama dalam sebuah antologi. Buku yang buku benaran, bukan diktat.

Mengutip dari definisi Unesco, buku adalah publikasi tercetak tidak berkala dengan ketebalan lebih dari 49 halaman, memiliki kover yang khas, diterbitkan suatu negara dan tersedia untuk publik. Buku tersebut dicetak sekurang-kurangnya 50 eksemplar serta disebarkan kepada publik.

Sekarang banyak penawaran penerbitan buku murah meriah hanya untuk lima atau 10 eksemplar, hanya untuk memenuhi kepentingan sebuah prasyarat dari penulisnya. Jika merujuk pada definisi badan PBB tersebut, berarti karya tersebut walaupun ditulis penulis bergelar sederet belum bisa disebut sebuah buku, memang formatnya secara fisik bentuknya buku yang dicetak bukan digital. Mungkin itu namanya buletin?

Menurut defenisi lain dari US Postal Service : Buku adalah publikasi berjilid memiliki 24 atau lebih halaman, setidaknya 22 di antaranya dicetak dan mengandung bahan bacaan utama, dengan iklan terbatas hanya untuk promosi buku. Dalam buku boleh ada iklan, tetapi iklan tentang buku juga. (maspril aries)

Berita Terkait

Image

Tren di Tengah Pandemi, Menulis Buku Keroyokan itu Keren

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Penggiat Literasi-Tutor-Penulis & Penerbit Buku -- PALEMBANG - INDONESIA