Begal Fenomena yang Tak Kunjung Selesai
KAKI BUKIT – Satu peristiwa seorang Amaq Sinta di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi korban pembegalan oleh empat orang begal dengan merampas paksa motor yang dikendarainya di Dusun Matek Maling, Desa Ganti, Praya Timur. Namun Amaq Sinta melakukan perlawanan, dua orang begal tewas di tangannya.
Kasus ini kemudian ditangani Polres Lombok Tengah. Amaq Sinta ditetapkan sebagai tersangka yang mengakibatkan dua orang tewas. Ia menjadi tersangka kasus dugaan pembunuhan dan penganiayaan dijerat dengan Pasal 338 KUHP serta Pasal 351 ayat (3) KUHP. Lalu kasus ini ramai di media sosial dan ada aksi unjuk rasa dari masyarakat yang memprotes, mendesak polisi membebaskan Amaq Sinta yang tak lain korban tindak kriminal pembegalan.
Kasus ini kemudian penanganannya diambil alih Polda NTB. Kemudian Kepala Polda NTB Inspektur Jenderal (Irjen) Djoko Poerwanto menyampaikan bahwa polisi telah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus Amaq Sinta.
Menurut Kapolda Djoko Poerwanti, dari hasil gelar perkara, diyakini perbuatan Amaq Sinta yang melakukan pembunuhan terhadap dua begal, adalah perbuatan pidana atas dasar keterpaksaan. Perbuatan Amaq Sinta tersebut, dilindungi dengan prinsip pembelaan diri yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUH Pidana. Pasal ini mengatur tentang peniadaan pemidanaan atas seseorang yang melakukan tindak pidana, atas pembelaan terpaksa untuk diri sendiri, maupun orang lain.
Kasus korban begal menjadi tersangka bukan yang pertama, sebelumnya pada 2015 di Pekanbaru, seorang pria bernama Raju ditetapkan sebagai tersangka setelah membunuh Roby Dzaki Setiawan. Raju membunuh Roby karena membela diri dari pembegalan.
Kemudian di Medan pada akhir 2021, Dedi Irwanto ditetapkan sebagai tersangka setelah membunuh seorang begal. Kejadian tersebut terjadi di Jalan Sei Beras Sekata, Dedi yang sedang mengendarai sepeda motor hendak pulang ke rumahnya dihampiri empat orang pria, mereka hendak merampok dengan memukul Dedi menggunakan bambu. Dedi berhasil melawan dengan menikam salah satu pelaku yang kemudian tewas.
Kasus yang terjadi pada Amaq Sinta menjadi peringatan bahwa begal sejak dulu sampai kini masih terus ada. Apakah akan terus ada menjadi fenomena tindak kriminal di tengah masyarakat yang tak kunjung selesai?
“Begal” adalah istilah yang sudah sejak lama dikenal di masyarakat. Begal diartikan seorang atau sekelompok orang yang melakukan ”pencegatan” kepada seseorang yang melakukan perjalanan malam (baik jalan kaki, sepeda, maupun sepeda motor) yang bisa terjadi di banyak tempat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “begal” berarti penyamun, “membegal” merampas di jalan atau menyamun dan “pembegalan” artinya proses, cara, perbuatan membegal; perampasan di jalan; penyamunan.
Mau pilih kata atau istilah yang mana? Dalam bahasa hukum semua perbuatan itu adalah tindak kejahatan pidana. Kasus kejahatan atau tindak kriminal berkaitan dengan begal ini lebih banyak terjadi pada perampokan kendaraan khususnya sepeda motor roda dua, masyarakat menyebut kasus ini dengan istilah “pembegalan” dan pelakunya disebut “begal.”
Begal sudah ada dan dikenal sejak lama, telah menjadi fenomena yang ada di tengah masyarakat, terus ada dan tak kunjung selesai. Fenomena begal yang awalnya hanya perbuatan dengan mengambil harta benda miliki korban tanpa mencederainya dan kerap terjadi malam hari.
Namun kini menurut Jamal Wiwoho guru besar Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), “Begal sudah sangat jauh berbeda dengan yang saya kenal saat kecil. Pada zaman yang sudah modern ini begal telah berubah menjadi sosok yang amat menakutkan.”
“Begal merupakan upaya disertai paksaan/kekerasan seseorang atau sekelompok orang untuk menguasai harta orang lain (korban). Kekerasan yang dilakukan para begal memang sudah keterlaluan karena tidak hanya dengan kekerasan psikis, tapi juga kekerasan fisik sehingga para pembegal tidak menginginkan harta semata,” dalam tulisannya berjudul “Fenomena Begal, Salah Siapa?”
Begal telah hadir sebagai fenomena di tengah masyarakat, merupakan kejahatan yang sangat meresahkan masyarakat. Ada di beberapa daerah akibat tindakan kriminal tersebut membuat masyarakat takut keluar rumah pada malam hari menggunakan sepeda motor baik sendirian maupun bersama. Begal tidak pandang bulu melakukan pembegalan terhadap korbannya.
Jika merujuk pada hukum di Indonesia, kejahatan begal atau pembegalan tidak diatur dalam hukum positif. Tidak ditemukan definisi begal dalam perspektif hukum. Istilah begal hanya ada di masyarakat untuk pelaku kejahatan yang mencegat korban di jalan dan melakukan perampasan harta benda. Dalam hukum positif, kejahatan begal atau pembegalan masuk dalam koridor pencurian yang diatur dalam Buku II KUHP yaitu pencurian dengan kekerasan Pasal 365 KUHP dan/atau Pasal 368 KUHP mengenai pemerasan dengan ancaman kekerasan atau kekerasan.
Di lingkungan kepolisian pembegalan atau kejahatan begal dikenal sebagai tindak kriminal kasus 3C yaitu curas (pencurian dengan kekerasan), curat (pencurian dengan pemberatan) dan curanmor (pencurian kendaraan bermotor). Begal termasuk sebagai kejahatan konvensional justru telah menjadi sebuah fenomena kejahatan yang sampai saat ini meresahkan masyarakat pada banyak daerah di Indonesia.
Begal kehadirannya mengincar pengendara sepeda motor sebagai targetnya. Begal tidak segan-segan melukai, bahkan membunuh korbannya dalam menjalankan aksinya. Ini sangat meresahkan masyarakat sekaligus memancing amarah masyarakat akibatnya ada begal meregang nyawa di tangan masyarakat, ada yang dibakar hidup- hidup, ada yang dikeroyok hingga tewas.
Apa yang dilakukan masyarakat itu menjadikan hukum sosial yang harus diterima para begal sadis tersebut. Masih ingatkah peristiwa begal motor dibakar hidup-hidup sampai tewas oleh warga di kawasan Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten pada tahun 2015. Hukum sosial dari masyarakat tersebut menjelma menjadi “pengadilan jalanan” (street justice). Hukum sosial dari masyarakat sepertinya menjadi pertolongan pada diri sendiri.
Menurut Marwan Mas guru besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar dalam tulisannya berjudul “Ketika Begal Diadili Masyarakat,” masyarakat tidak boleh dibiarkan secara sendirian menolong diri sendiri terhadap kejahatan yang mengintainya sebab bisa berbias arah jika ‘massa’ yang bergerak. Maka itu, kepolisian harus selalu hadir di tengah-tengah masyarakat untuk bersinergi menjaga keamanan dan kenyamanan.
Berdasarkan Pasal 13 Undang-UndangNomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Undang-Undang Kepolisian), tugas dan fungsi Polisi Republik Indonesia (Polri) tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: (1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (2) menegakkan hukum; dan (3) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Kejahatan begal sebagai kejahatan konvensional dan marak terjadi di berbagai daerah, dapat dicegah melalui fungsi represif dan preventif oleh polisi. Menurut mantan Kapolri Awaloeddin Djamin, berkaitan dengan tugas dan fungsi preemtif Polri, bahwa dalam praktek di lapangan, Polri menyebut istilah preemtif ini sebagai “pembinaan masyarakat” atau “preventif tidak langsung,” yaitu pembinaan yang bertujuan agar masyarakat menjadi law abiding citizens.
Menurut M Faal dalam “Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Polisi)” (1991), tugas atau fungsi preventif dibagi dalam dua kelompok besar: (a) Pencegahan yang bersifat fisik dengan melakukan empat kegiatan pokok, antara lain mengatur, menjaga, mengawal dan patroli; (b) Pencegahan yang bersifat pembinaan dengan melakukan kegiatan penyuluhan, bimbingan, arahan, sambung, anjangsana untuk mewujudkan masyarakat yang sadar dan taat hukum serta memiliki daya cegahtangkal atas kejahatan.
Pada poin kedua ini sesungguhnya apa yang disebut sebagai tindakan preemtif atau preventif tidak langsung. Tugas dan fungsi represif atau pengendalian, yang berarti bahwa Polisi itu berkewajiban menyidik perkara perkara tindak pidana, menangkap pelaku-pelakunya dan menyerahkan kepada penyidikan (yustisi) untuk penghukuman.
Penyebab Pembegalan
Menurut Jamal Wiwoho banyak faktor yang menjadi pendorong lahirnya begal. Pertama, budaya konsumerisme dan gaya hidup materialis memasyarakat. Kedua, faktor pandangan sosial masyarakat. Ketiga, dampak berita/tontonan film, game pada media massa dan media elektronik. Keempat, cara berpikir serba instan. Kelima, keluarga yang broken home.
Keenam, ada bullying, suatu tindakan kasar serta kekerasan terhadap seseorang manakala menginginkan sesuatu. Ketujuh, kondisi perekonomian yang kurang baik. Kedelapan, lemahnya pengawasan sosial. Kesembilan, fenomena begal disebabkan banyak pengangguran.
Mengutip IS Susanto dalam “Kriminologi” (2011), dalam perspektif kriminologi terdapat 5 (lima) faktor yang mempengaruhi pelaku melakukan kejahatan begal : 1. Faktor ekonomi; 2. Lingkungan sosial pelaku; 3. Tempat Kejadian Perkara (TKP); 4. Peniruan kejahatan begal di wilayah lain (termasuk peran media); dan 5. Masih adanya penadah. (maspril aries)