Literasi

Marsinah dari Lakon, Puisi, Ratna Sarumpaet, Wiji Thukul dan Sapardi Djoko Damono (Bagian 2 - Habis)

Peringatan Hari Buruh 1 Mei mengusung foto Marsinah. (FOTO : Republika)

KAKI BUKIT – Semua yang perjuangan dan peristiwa tragis menimpa Marsinah itu yang melahirkan karya seni. Menurut Goenawan Mohamad, apa yang dialami Marsinah adalah sebuah gambaran yang menyesakkan, tentang bagaimana seseorang yang memperjuangkan tuntutan yang bersahaja pada akhirnya tersangkut dengan masalah hak dasar: hak untuk punya suara, hak untuk punya harapan, bahkan hak untuk punya jiwa dan badan.

Kita tak tahu siapa yang membunuh Marsinah. Tapi kita tahu mengapa ia dibunuh. Ia seorang buruh yang mengais-ngais dari remah-remah dunia yang dikenalnya secara terbatas. Ia tidak punya pilihan lain. Ia bermaksud mengubah nasibnya.

Menurut Ratna Sarumpaet, terlepas dari proses persidangan kasus Marsinah yang penuh teka-teki itu; terlepas dari kesedihan kita menyaksikan ketidakmampuan lembaga peradilan mengungkap kasus ini. Kematian perempuan ini bagaimana pun telah mengungkapkan pada kita dua hal.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Satu, tentang kekerasan yang telah mencabik-cabik rahim dan merenggut nyawanya. Dua, tentang perjuangannya sebagai buruh industri menghadapi pihak pabrik yang mengeksploitasinya, serta pihak keamanan yang menekan dan menyudutkannnya.

Dari kasus Marsinah selain Ratna Sarumpaet yang menuangkannya dalam naskah lakon atau teater ada juga Sapardi Djoko Damono yang menuangkannya dalam puisi. Sapardi menulis puisi berjudul “Dongeng Marsinah” butuh waktu tiga tahun lebih pada 1993- 1996 untuk menulisnya.

Ada yang mengatakan, “Dongeng Marsinah” adalah salah satu puisi yang sarat dengan kritik sosial, juga ada menyebutnya sebagai bentuk luapan kemarahan sastrawan Sapardi Djoko Damono pada kasus pembunuhan Marsinah.

Puisi “Dongeng Marsinah” ditulis Sapardi cukup panjang ada enam bagian. Pada bagian pertama menulis :

/1/

Marsinah buruh pabrik arloji,

mengurus presisi:

merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;

waktu memang tak pernah kompromi,

ia sangat cermat dan pasti

/2/

Marsinah, kita tahu, tak bersenjata,

ia hanya suka merebus kata

sampai mendidih,

lalu meluap ke mana-mana.

“Ia suka berpikir,” kata Siapa,

“itu sangat berbahaya.”

Marsinah tak ingin menyulut api,

ia hanya memutar jarum arloji

agar sesuai dengan matahari.

“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,

“dan harus dikembalikan

ke asalnya, debu.

Persoalan tentang buruh seperi kasus Marsinah yang terjadi pada zaman Orde Baru adalah persoalan yang krusial yang sampai kini tak kunjung teratas. Persoalannya bukan sekedar urusan industrial, tetapi juga menyangkut persoalan lain seperti sosial, ekonomi, dan politik.

Terhadap persoalan buruh tersebut Wiji Thukul yang buruh dan aktivis buruh menuangkan dalam puisi. Pada tahun 2014, terbit buku kumpulan lengkap puisinya yang berjudul “Nyanyian Akar Rumput.”

Dalam puisinya berjudul “Suti” WijiThukul menampilkan potret seorang buruh bernama Suti yang sakit akibat “terisap” oleh beban pekerjaannya yang berat, namun ia tidak memiliki cukup uang untuk berobat karena upahnya sebagai buruh tidak mencukupi.

Kemudian pada puisi berjudul “Leuwigajah” ia memotret buruh tenaga muda yang terus diperah, diisap darahnya, seperti buah disedot vitaminnya. Puisi berjudul, “Terus Terang Saja,” Wiji Thukul menyatakan kapitalis sebagai musuh bagi mereka: kaum buruh.

Menurut Debora Martini Wulu dan Ali Nuke Affandy dalam penelitian berjudul “Penindasan Buruh dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra,” (2019) menyebutkan, puisi ini mengkonotasikan kapitalis sebagai sesuatu yang terus-menerus memakan tetes-tetes keringat kaum buruh.

Nasib buruh memang sangat memperihatinkan, jika tak ingin disebut mengenaskan. Kapitalisme yang terus tumbuh dengan subur menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial. Para pemilik modal yang banyak diantaranya adalah orang asing berusaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara mempekerjakan buruh dengan upah yang rendah.

Naskah lakon “Marsinah Nyanyian Bawah Tanah” karya Ratna Sarumpaet, puisi “Dongeng Marsinah” yang ditulis Sapardi Djoko Damono dan kumpulan puisi Wiji Thukul berjudul “Nyanyian Akar Rumput” adalah karya seni atau sastra yang membicarakan persoalan manusia.

Antara karya sastra dengan manusia memiliki hubungan yang tidak terpisahkan. Sastra dengan segala ekspresinya merupakan pencerminan dari kehidupan manusia. Adapun permasalahan manusia merupakan ilham bagi pengarang untuk mengungkapkan dirinya dengan media karya sastra atau seni. (maspril aries)

Berita Terkait

Image

Marsinah dari Lakon Ratna Sarumpaet, Puisi Sapardi Djoko Damono dan Wiji Thukul (Bagian 1)

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Penggiat Literasi-Tutor-Penulis & Penerbit Buku -- PALEMBANG - INDONESIA