Bisnis

Kolaborasi Indonesia Malaysia Hadapi Uni Eropa (Bagian 2 - Habis)

Foto udara lahan perkebunan kelapa sawit skala besar di Tanjungjabung Timur, Jambi. (FOTO : Antara/Wahdi Septiawan)

KAKI BUKIT – Minyak kelapa sawit memiliki peran secara global yaitu sebagai bahan baku pangan, non pangan, dan energi. Permintaan global terhadap minyak kelapa sawit telah meningkat tajam dikarenakan daya saing yang dimiliki oleh minyak kelapa sawit sangat tinggi, harga yang dimiliki minyak kelapa sawit lebih kompetitif, dan fleksibelitas yang dimiliki minyak kelapa sawit cukup tinggi sebagai bahan substitusi jika dibandingkan dengan minyak nabati lainnya.

Walau dituding perkebunan kelapa sawit merusak lingkungan, ternyata industri minyak kelapa sawit juga mengambil peran penting dalam penurunan gas rumah kaca/ greenhouse gas (GHG) dalam skala global dengan menjadi substitusi solar dengan biodiesel sawit dan penyerapan kembali karbondioksida oleh tanaman kelapa sawit dari atmosfer bumi.

Namun tetap saja hambatan demi hambatan mendera ekspor sawit ke negara Uni Eropa yang bermula dari penerapan hambatan tarif maupun non tarif terhadap impor kelapa sawit. Hambatan bermula dari kebijakan European Union Renewable Energy Directive (RED) tahun 2009 yang mewajibkan penggunaan bahan bakar memenuhi kriteria pengurangan gas rumah kaca.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Tahun 2013 Uni Eropa menerapkan bea masuk anti dumping terhadap biodiesel ekspor dari Indonesia dan Argentina yang berdampak produk kelapa sawit Indonesia sukar bersaing dengan minyak lainnya di pasar Uni Eropa.

Tanggal 4 April 2017 Parlemen Uni Eropa mengeluarkan Resolusi Parlemen Uni Eropa (UE) tentang Palm Oil and Deforestation of Rainforest (minyak kelapa sawit dan deforestasi hutan hujan). Dengan berlakunya resolusi ini mencerminkan perlakuan diskriminatif terhadap kelapa sawit dan negara produsennya.

Sejak saat itu ekspor produk kelapa sawit Indonesia ke Uni Eropa dihambat dengan berbagai isu. Seperti, kampanye hitam (black campaign), isu lingkungan, isu kesehatan, isu pelanggaran HAM, isu eksploitasi buruh anak, juga resolusi Uni Eropa terkait pelarangan biodiesel berbasis minyak sawit.

Menurut Adelita Sukma Kusumaningtyas dalam “Upaya Hambatan Non-Tarif oleh Uni Eropa Terhadap Minyak Kelapa Sawit Indonesia” (2017), dengan mengutip penjelasan Arif Havas Oegroseno (mantan duta besar Indonesia untuk Belgia, Luksemburg dan Uni Eropa periode 2010-2015), serangan terhadap sawit Indonesia ke Uni Eropa berasal dari LSM, politisi, produsen, peritel, industri, media dan pembuat kebijakan.

Salah satu bentuk kampanye yang dilakukan menurut Arif Havas, LSM mengangkat tema deforestasi yang mengakibatkan terganggunya habitat orangutan dan harimau. Mereka memasang poster besar bergambar orangutan yang lucu di mal-mal.

Uni Eropa menggaungkan kampanye dengan kalimat provokatif “say no to palm oil” atau “no palm oil” atau adanya label “free palm oil” yang ada pada beberapa produk yang beredar di pasaran. Kampanye ini dicetuskan NGO melalui artikel berjudul “How the Industry Palm Oil is Cooking the Climate” pada November 2007.

Tahun Menteri Ekologi Perancis, Segolene Royal mengajak masyarakat untuk tidak mengkonsumsi produk Nutella, dikarenakan produk tersebut mengandung minyak kelapa sawit yang merupakan penyebab deforestasi dan pemanasan global.

Pada awal Januari 2018, Parlemen Uni Eropa mengamandemen draf RED untuk memasukkan larangan penggunaan biofuel minyak sawit di Eropa setelah 2021. Langkah ini ditentang keras oleh Malaysia dan Indonesia. Dua negara ini menguasai hampir 90 persen ekspor minyak sawit global.

Dalam rancangan RED yang disetujui oleh anggota Parlemen Eropa, energi terbarukan akan menyumbang setidaknya 35 persen dari penggunaan energi keseluruhan UE pada tahun 2030. Bahan bakar nabati yang dibuat dari makanan dan tanaman pangan lainnya akan dikurangi hingga nol pada tahun 2030 di bawah rencana RED Parlemen.

Setelah berbagai resolusi dikeluarkan Parlemen Eropa maka diskriminasi sawit oleh Uni Eropa semakin sempurna ketika Komisi Eropa mengeluarkan rancangan kebijakan bertajuk Delegated Regulation Supplementing Directive of the EU Renewable Energy Directive II yang diajukan oleh Komisi Eropa pada 13 Maret 2019.

Resolusi Parlemen dan keputusan Komisi Uni Eropa tersebuyt adalah tantangan bagi industri sawit di Indonesia dan Malaysia. Bagi Indonesia, berpotensi mengganggu jalannya perekonomian dan berdampak buruk terhadap berbagai sektor terutama industri dan tenaga kerja.

Menurut Windratmo Suwarno dari Kementerian Luar Negeri dalam “Kebijakan Sawit Uni Eropa dan Tantangan bagi Diplomasi Ekonomi Indonesia” (2019), Resolusi sawit dari Uni Eropa adalah sebagai bentuk diskriminasi dan memiliki motif politik dilihat dari ketimpangan atas kebijakan yang dihasilkan.

Menurutnya, berdasarkan data dan fakta yang ada, minyak nabati negara-negara Uni Eropa membuat deforestasi meluas namun menghasilkan volume produksi sedikit. Berbanding terbalik dengan sawit yang menggunakan lahan lebih sedikit tetapi menghasilkan volume produksi yang lebih besar.

Kolaborasi Indonesia – Malaysia menghadapi Uni Eropa adalah upaya menyelamatkan industri sawit dua negara dan negara produsen lainnya. Apa yang dilakukan Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Malaysia dipimpin Deputy Perdana Menteri-Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Dato’ Sri Haji Fadillah Bin Haji Yusof adalah upaya menghapus diskriminasi terhadap produk kelapa sawit Indonesia – Malaysia. (maspril aries)

Berita Terkait

Image

Karhutla 1997/1998 Terparah di Indonesia (Bagian 2 - Habis)

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Penggiat Literasi-Tutor-Penulis & Penerbit Buku -- PALEMBANG - INDONESIA