Peternak Bahasa, Pabrik Kata-Kata dan Ekonomi Kreatif

Literasi  

Kantor Balai Bahasa Sumatera Selatan - Komplek Taman Budaya Jalan Seniman Amri Yahya , Palembang. (FOTO : https://balaibahasasumsel.kemdikbud.go.id)

Industri kreatif merupakan bagian tidak terpisahkan dari industri kreatif. Menurut Dani Danuar dalam “Pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Berbasis Ekonomi Kreatif di Kota Semarang” (2013), ekonomi kreatif dapat dikatakan sebagai suatu sistem transaksi penawaran dan permintaan yang bersumber pada kegiatan ekonomi yang digerakkan oleh sektor industri yang disebut Industri Kreatif.

Konsep ekonomi kreatif merupakan sebuah konsep ekonomi era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan stock of knowledge dari sumber daya manusia sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya.

Dalam buku “The Creative Economy” yang terbit tahun 2001 John Hawkins menemukan kehadiran gelombang ekonomi kreatif setelah menyadari pertama kali pada tahun 1997 ekspor karya hak cipta Amerika Serikat mempunyai nilai penjualan sebesar US$ 414 miliar yang jauh melampaui ekspor sektor lainnya seperti otomotif, pertanian, dan pesawat.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Menurutnya, ekonomi baru telah muncul seputar industri kreatif yang dikendalikan oleh hukum kekayaan intelektual seperti paten, hak cipta, merek, royalti dan desain. Ekonomi kreatif merupakan pengembangan konsep berdasarkan aset kreatif yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Ekonomi kreatif di Indonesia saat berkembang pesat dan menjadi salah satu faktor pendorong roda perekonomian. Ekonomi kreatif merupakan konsep ekonomi yang mengkolaborasikan antara informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan pengetahuan dari sumber daya manusia sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya.

Singkatnya, ekonomi kreatif adalah kegiatan perekonomian yang mengandalkan atau menggunakan ide, pengetahuan, dan kreativitas dari seorang individu dalam melakukan kegiatan ekonominya.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengklasifikasikan industri kreatif ke dalam 14 subsektor, diantaranya 1) Arsitektur; 2) Desain; 3) Feysen; 4) Film, Video, & Fotografi; 5) Kerajinan; 6) Layanan Komputer & Peranti Lunak; 7) Musik; 8) Pasar Barang Seni; 9) Penerbitan & Percetakan; 10) Periklanan; 11) Permainan Interaktif; 12) Riset & Pengembangan; 13) Seni Pertunjukan; 14) Televisi & Radio. Kemudian dilengkapi dengan sub sektor kuliner yang saat ini perkembangannya cukup pesat.

Sastra dan Kaos

Dari 14 subsektor industri kreatif yang ditetapan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif hampir seluruhnya terkait langsung dengan bahasa. Unsur bahasa menjadi salah satu penunjang dari industri atau kreatif tersebut.

Ada dua subsektor yang terkait dengan ekonomi kreatif yang menggunakan atau memanfaatkan permainan kata-kata yang menjadi pembahasan pada tulisan ini, yaitu fesyen dan penerbitan. Melalui Niaga Bahasa, industri fesyen, industri penerbitan dan percetakan dapat berkembang menjadi peluang bisnis bagi generasi muda atau milenial untuk terjun dan menggeluti ekonomi kreatif yang memberdayakan permainan kata-kata.

Sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda dalam makalahnya “Sastra dalam Era Industri Kreatif” (2013) menulis, sastra, karya sastra, dan industri kreatif, sama-sama berbasis pada talenta dan kreativitas serta sama-sama bernuansa budaya. Bedanya, proses penciptaan karya sastra lebih diorientasikan pada kepentingan literer (kesastraan), sedangkan industri kreatif lebih diorientasikan pada kepentingan pasar sebagaimana sifat dasar dunia industri.

Seiring pesatnya pertumbuhan industri kreatif, di lingkungan dunia penerbitan buku lahir kecenderungan untuk menyiasati penerbitan buku sastra sebagai sebuah industri. Menurut Ahmadun, penerbitan karya sastra pun menjadi bagian tak terpisahkan dari industri penerbitan (buku) yang terus berkembang makin pesat dengan dukungan daya beli dan minat baca masyarakat yang terus meningkat meskipun sumbangannya belum terlihat signifikan.

Banyak terbit buku-buku laris (bestseller) sejak teenlit, chicklit, fiksi seksual, sampai fiksi Islami – dan semua buku yang disukai pasar. Karena karya sastra adalah produk budaya, maka usaha penerbitan buku sastra yang bersifat profitable (komersial) dapat dianggap sebagai bagian dari industri budaya.

Penerbitan buku sebagai bagian dari ekonomi kreatif tidak hanya sebatas pada buku-buku sastra atau fiksi. Banyak juga buku-buku non fiksi yang laris, buku ini lahir dari penulis-penulis kreatif yang memanfaatkan perkembangan ekonomi kreatif di era digital. Buku-buku yang terbit kini semakin beragam, tidak hanya dalam format cetak menggunakan kertas tapi juga ada buku dalam format e-book yang bisa dibaca dengan menggunakan perangkat telepon seluler atau perang komputer/ laptop/ ipad.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Penggiat Literasi-Tutor-Penulis & Penerbit Buku -- PALEMBANG - INDONESIA

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image