Eduaksi

Guru Besar Fisip Unila : Birokrasi Belum Mampu Merespon Isu Strategis Perubahan Iklim

Rektor Unila Lusmeilia Afriani menyerahkan SK Guru Besar kepada Novita Tresiana. (FOTO : Humas Unila)

KAKI BUKIT, Bandar Lampung – Universitas Lampung (Unila) kembali menambah jumlah guru besar. Pada pengukuhan, Rabu (22/11) Rektor Unila Lusmeilia Afriani mengukuhkan empat orang guru besar.

Empat orang guru besar tersebut Prof Dr Noverman Duadji, MSi, Prof Dr Novita Tresiana dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip), Prof Dr Sri Hidayati dari Fakultas Pertanian dan Prof Dr Muhammad Sarkowi dari Fakultas Teknik.

Novita Tresiana yang dikukuhkan sebagai guru besar bidang Administrasi Pembangunan menyampaikan orasi berjudul “Perubahan Iklim, Korupsi dan Kemiskinan: Tantangan Administrasi Pembangunan dalam Transformasi Ekosistem Birokrasi Pemerintah sebagai Policy Advisor Yang Inovatif”.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Dalam orasinya, Novita Tresiana menyoroti dampak perubahan iklim yang menyebabkan meningkatnya suhu/pemanasan global berimplikasi munculnya kekeringan, cuaca ekstreem, perubahan pola hujan; terjadi badai destruktif; volume dan suhu laut meningkat; beberapa spesies punah (terutama yang tidak mampu beradaptasi), suplai makanan terganggu dikarenakan gangguan produksi pertanian, perikanan dan peternakan; meningkatnya resiko kesehatan.

“Kita ketahui bahwa kalangan miskin adalah yang paling rentan terdampak perubahan iklim. Bagaimana tidak, masyarakat miskin di kota dipaksa hidup di kawasan rawan longsor, di bantaran sungai yang sering dilanda banjir, atau di tepi laut yang tak aman dari terjangan gelombang pasang bahkan tsunami, serta di lingkungan yang paling tercemar, kotor, kumuh dengan sampah yang menumpuk dan langka air bersih. Mereka juga tak mudah mengakses layanan kesehatan dan obat-obatan di tengah ledakan penyakit menular”, kata dosen kelahiran 18 September 1972.

“Kemiskinan bukan hadir begitu saja. Dia tercipta dari sistem ekonomi-politik, global, nasional, regional maupun lokal, yang tidak adil”, ujar Novita seraya memberi contoh ekstrem berupa fakta masyarakat miskin di kampung kumuh harus membayar air bersih yang dibeli dari pengecer dengan harga jauh lebih mahal dibandingkan dengan masyarakat kaya di perumahan mewah yang membeli air dari Perusahaan Daerah Air Minum.

Pada bagian lain orasi ilmiahnya, Novita Tresiana melontarkan pertanyaan, “Mengapa birokrasi pemerintah belum mampu merespon isu strategis perubahan iklim di Indonesia?”

Menurut guru besar alumnus Fisip Unila tahun 1995, ada beberapa penjelasan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Novita menjelaskan, bahwa birokrasi publik di Indonesia menghadapi tantangan administrasi.

“Birokrasi publik daerah menghadapi persoalan regulasi yang tumpang tindih, disebabkan dua hal yaitu belum adanya regulasi yang mengikat kuat daerah-daerah (perda-perda) dan tumpang tindih antar birokrasi (siapa mengerjakan apa) yang menghambat kinerja terkait lingkungan dan perubahan iklim”, ujarnya.

Birokrasi publik menghadapi tantangan finansial. Anggaran adaptasi dan perubahan iklim (lingkungan) bertujuan untuk membiayai berbagai program green development, serta konservasinya di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

“Sayangnya ditemui masih minimnya proporsi yang masih sangat kecil dibanding dengan pos belanja lainnya, seperti layanan umum sebagaimana data yang dilansir dari Kementrian keuangan. Hal ini membuat rencana dan program pengentasan isu perubahan iklim menjadi terbatas. Padahal, banyak masalah lingkungan dan perubahan iklim yang secara langsung berdampak bagi kehidupan masyarakat, seperti bencana kekeringan dan banjir,” peraih gelar doktor Adminstrasi Publik dari Universitas Padjadjaran (Unpad).

Kemudian, birokrasi publik menghadapi persoalan berupa rendahnya kesadaran politik (pemangku kepentingan) mengenai isu perubahan iklim. “Dalam menjalankan programnya, birokrasi daerah juga dihadapkan pada rendahnya kesadaran politik pemangku kepentingan. Akibatnya, program perlindungan lingkungan hidup serta pengendalian perubahan iklim tidak menjadi isu strategis dalam RPJMD”.

Belum mampunya birokrasi merespon isu strategis perubahan iklim karena birokrasi publik menghadapi tantangan teknis berupa rendahnya pengetahuan mengenai isu lingkungan, iklim dan pembangunan hijau lainnya.

“Isu yang paling sering dihadapi ialah ketidaksetaraan pemahaman mengenai risiko iklim antar pemangku kepentingan daerah. Perbedaan pandangan menyebabkan tidak selarasnya perencanaan program-program yang berkaitan dengan isu tersebut. Selain itu, perencanaan yang matang sulit tercapai karena kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas di bidang terkait”, kata guru besar yang telah menulis 15 buku. (maspril aries)

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Penggiat Literasi-Tutor-Penulis & Penerbit Buku -- PALEMBANG - INDONESIA