Literasi

Fenomena Jurnalisme Clickbait di Media Online

Presiden Joko Widodo pada puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022 yang hadir secara virtual dari Istana Kepresidenan di Bogor, 9 Februari 2022. (FOTO : BPMI Setpres/Lukas)

Oleh : Maspril Aries

KAKI BUKIT – Pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022 di Kendari, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Atal S Depari mengingatkan, Pers harus mengendalikan arus jurnalisme clickbait yang semakin deras, khususnya pada jalur jurnalisme online.

“Pers harus terus memperbaiki kualitas pemberitaannya, dan sedapat mungkin menghindari trend pemberitaan yang bias, provokatif, dan bombastis. Hal yang tidak kalah penting adalah menjaga independensi media,” kata Atal S Depari dalam sambutannya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Ternyata sambutan tersebut tidak berbeda dengan apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada peringatan HPN tersebut. Menurut Presiden, perubahan drastis lanskap persaingan media melahirkan berbagai persoalan yang pelik. Munculnya sumber-sumber informasi alternatif, tumbuh suburnya tren informasi yang semata mengejar jumlah klik atau views, membanjirnya konten-konten yang hanya mengejar viral, masifnya informasi yang menyesatkan bahkan adu domba, sehingga menimbulkan kebingungan dan bahkan perpecahan.

Sambutan Ketua PWI Atal Depari dan Presiden Joko Widodo menjadi gambaran kerisauan dan keprihatinan dari komunitas pers dan rakyat Indonesia terhadap fenomena jurnalisme clickbait yang marak saat ini.

Apa itu jurnalisme clickbait ?

Ternyata tidak semua wartawan atau jurnalis tahu dan mengerti apa itu jurnalisme clickbait . Buktinya masih ada wartawan media online yang tidak mengerti apa itu jurnalisme clickbait .

Clickbait atau umpan klik lahir sebagai anak kandung internet dengan berbagai media platform-nya. Ada beberapa teknologi berbasis online yang terkoneksi dengan jaringan internet adalah seperti media sosial (instagram, facebook, twitter, dll), media chatting (whatsapp, line, dll) dan media online.

Istilah clickbait awalnya lebih sering terdengar pada platform youtube. Clickbait digunakan oleh para creator atau youtuber sebagai umpan atas setiap videonya sehingga menarik perhatian pengguna youtube, yang berujung dengan penambahan viewer ataupun subscriber. Praktik clickbait yang digunakan yakni dengan menggunakan judul-judul yang bombastis.

Cara ini ternyata efektif ampuh sehingga memicu rasa ingin tahu masyarakat yang tinggi. Semakin banyak viewer maka berpeluang mendatangkan pendapatan yang meningkat. Atau terjadi perpaduan antara praktik clickbait, viewer, dan iklan yang berarti datangnya keuntungan materil atau monetisasi.

Dalam perkembangannya praktik clickbait merambah dunia jurnalistik, sehingga disebut clickbait journalism atau jurnalisme clickbait (jurnalisme umpan klik). Jurnalisme yang satu ini banyak digunakan pada media online. Format berita media online berbeda dengan media konvensional (cetak, radio dan televisi), pembaca mengawalinya dengan melihat judul, lalu setelah pembaca melakukan klik pada suatu berita maka isi berita baru dapat dilihat secara utuh.

Praktik jurnalisme clickbait yang pada media online nyaris sama dan tak berbeda dengan clickbait di youtube, memiliki ciri yang sama dengan menggunakan judul yang bombastis, membuat penasaran pembaca sehingga terpancing untuk mengklik berita tersebut karena ingin tahu lebih lanjut.

Penulisan berita dibuat dengan alur bercerita, tidak seperti struktur berita pada umumnya yaitu dengan konsep paling penting-penting-kurang penting (lead-body-leg), tetapi sebaliknya pembaca dibawa dengan pembahasan yang luas tetapi inti dalam berita tersebut tidak ada. Selain clickbait , media online juga memunculkan page view. Clickbait adalah fenomena di media online yang memuja-muja page view.

Menurut Ankesh Anand dari Indian Institute of Technology, dalam tulisannya berjudul “We used Neural Networks to Detect Clickbait s: You won’t believe what happened Next!” menyebutkan bahwa clickbait merupakan istilah untuk judul berita yang dibuat untuk menggoda pembaca. Biasanya menggunakan bahasa yang provokatif nan menarik perhatian.

Fenomena clickbait mencuat dalam dunia digital khususnya media online, tujuannya hanya satu untuk menarik pembaca atau warganet masuk ke sebuah situs web dan mendulang apa yang disebut sebagai page view atau jumlah klik yang masuk.

Clickbait pun menjadi strategi perusahaan media online untuk menarik pengunjung mengklik judul, mengklik setiap page view sehingga meningkatkan jumlah pengunjung dan memberikan keuntungan di setiap halamannya.

Clickbait merupakan judul berita yang secara sengaja memaksa atau menjebak pembaca agar mau membaca atau mengklik berita tersebut. Banyak judul berita yang dibuat dengan judul fantastis bahkan kontroversial, tetapi ketika pembaca mengklik berita tersebut, isi dari berita tidak sesuai dengan judul yang disajikan.

www.romelteamedia.com menuliskan, fenomena yang muncul, wartawan media online menulis berita “seenaknya” tidak perlu mikir serius yang penting menarik pehatian dan diklik. Dulu, judul berita bertujuan menyampaikan inti informasi tanpa menyembunyikan substansi. Kini, judul berita ngumpetin intisari. Dulu, berita dibuat untuk dibaca. Kini, berita dibuat untuk diklik. Dulu to inform. Kini, to click. Dulu, orientasi oplah atau penjualan. Kini, orientasinya trafik, page views, atau jumlah kunjungan.

Qurani Dewi Kusumawardani dalam penelitiannya berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Internet Terhadap Konten Web Umpan Klik Di Media Online,” Jurnal Penelitian Hukum De Jure (2019) memberi beberapa contoh perbedaan judul normal dan judul clickbait dalam media online. Judul clickbait : Lihat umur saya 55 tahun, tapi disangka 25 tahun!!Klik dan sebarkan! Judul normal : Resep Awet Muda. Atau judul normal : Cara Diet dengan Buah Pisang. Disulap menjadi judul clickbait : Setelah 7 hari makan buah pisang, inilah yang terjadi!!!!!!

Di Indonesia media online pertumbuhannya sangat pesat. Banyak media online yang hadir di ruang virtual menjadi media informasi publik. Ada media online yang terverifikasi atau tidak terverifikasi oleh Dewan Pers. Media online tersebut memproduksi berita yang setiap saat dicari masyarakat.

Kehadiran teknologi internet, membuat informasi yang masuk ke internet melalui media online menjadi lebih berlimpah. Media online untuk menyajikan berita yang menarik minat audiens untuk bertahan di tengah-tengah persaingan bisnis yang ketat.

Data tahun 2016 berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan bahwa konten berita adalah salah satu konten yang sering diakses oleh masyarakat. Pada tahun itu dengan jumlah total penduduk Indonesia yaitu 256,2 juta jiwa, 132,7 juta jiwa menggunakan internet, dan 127,9 juta jiwa atau 96,4 persen mengakses berita. Berita menempati posisi ketiga yang paling banyak diklik setelah media sosial dan hiburan.

Sejak munculnya teknologi internet, informasi yang masuk ke internet melalui media online menjadi lebih berlimpah. Media online untuk menyajikan berita yang menarik minat audiens untuk bertahan di tengah-tengah persaingan bisnis media online yang ketat.

Media online berbeda dengan media sosial. Berita yang bersumber dari media online berbeda dengan diperoleh dari media sosial (medsos). Berita atau informasi dari media online memiliki ciri kekhasan yang penulisannya merujuk pada teknik jurnalistik dan selalu ada verifikasi. Ada perbedaan yang signifikan antara informasi yang didapatkan dari media sosial dan berita yang berasal dari media online.

Namun dalam perkembangannya, perbedaan itu menjadi kabur. Persaingan antar media online mendorong perusahaan media mencari gaya dan strategi untuk meraih pembacanya agar berkunjung ke laman media online-nya sehingga trafiknya meningkat.

Indikator kinerja utama yang menjadi parameter keberhasilan adalah clickbait (berita diklik) atau dibaca, atau dibagikan secara luas di media sosial. Fenomena ini kemudian memunculkan clickbait headline yang unik dan eyecatching sebagai jenis judul berita. Dari proses atau mekanisme seperti ini hadirlah iklan atau income yang masuk dari hasil “penggiringan” terhadap pembaca.

Perkembangan media online yang pesat menyebabkan munculnya fenomena clickbait . Wartawan media online membuat judul sesuka mereka, seperti membuat judul-judul yang fantastis dengan tujuan untuk memancing pembaca agar mengklik berita tersebut sehingga rating media online menjadi naik, tentu saja hal itu dilakukan untuk mendapatkan profit dan rating media.

Di sisi lain, judul clickbait terjadi karena wartawan tidak memahami betul pentingnya penggunaan bahasa jurnalistik pada penulisan berita. Demi meraih clickbait banyak media yang mengabaikan kode etik jurnalistik dan mengamplifikasi informasi tidak benar.

Mark Bulik editor senior The New York Times menyampaikan secara tersirat bahwa ada perubahan strategi pembuatan judul dalam memasuki era digital. Namun, bagi The New York Times, ia mewanti-wanti agar judul yang muncul tidak membuat pembaca merasa tertipu saat membaca dan menuntaskan sebuah artikel. Menurutnya, ukuran clickbait adalah saat pembaca merasa tertipu.

DeeNeen L. Brown dari Washington Post mengatakan, "Tulisan yang baik mensyaratkan penelitinya menempatkan diri dalam cerita. Jujurlah dalam berbahasa. Suatu berita seharusnya tidak lebih hebat – dengan memanipulasi kata-kata daripada kejadiannya sendiri. Jangan mulai menulis dengan gaya, tetapi utamakan informasi: pengungkapan detail khusus, gambaran konkret, kutipan, statistik, catatan-catatan dan fakta.”

Pesannya, “Seharusnya ruang redaksi mampu mempublikasikan berita dengan kata-kata terutama judul yang sesuai dengan kaidah dan prinsip menulis jurnalistik.” Judul- judul clickbait tersebut memang menjadi hak untuk setiap media online, namun meniti dengan berpegang pada kode etik seharusnya mampu menepis hak tersebut dengan menghormati hak publik atau pembaca.

Menurut jurnalis senior Dhimam Abror Djuraid, jurnalisme itu harusnya editorial based orientation bukan click-based orientation karena jurnalis bekerja untuk kepentingan publik. Kalau sekadar untuk kebutuhan mendapat clickbait , itu kepentingan pribadi, bukan kepentingan publik.

Kesimpulan yang ekstrim datang dari mantan Pemimpin Redaksi Republika, bahwa jurnalisme clickbait itu hakikatnya jurnalisme comberan. semua jenis air masuk. Tak ada saringan.

Tantangan ke depan bagi pers atau jurnalisme di Indonesia bagaimana untuk memerangi clickbait . Sudah ada regulasi dan rambu-rambu yang mengatur dalam Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 menyebutkan salah satu fungsi media adalah edukasi. Maka media khususnya media online sudah saatnya menyajikan berita yang sesuai dengan etika jurnalistik.

Banyak berita yang berbuah protes karena melanggar kode etik, salah satunya adalah media online yang menjadikan judul dan kontennya tidak sesuai. Juga ada media online yang melanggar kode etik karena menyajikan sensasionalisme kepada pembacanya.

Sebuah UU atau hukum ada untuk dipatuhi, jika memang tidak sesuai dengan tantangan zaman maka solusinya adalah melakukan revisi. Jangan menabrak hukum dengan pembenaran yang ada dalam benak jurnalis dan pengelola media massa atau online. Seperti membenarkan jurnalisme clickbait sebagai genre baru jurnalisme.©

Berita Terkait

Image

PWI Sumsel Cawe-Cawe Transformasi Bisnis Digital (Bagian 1)

Image

Jurnalisme Profetik antara Parni Hadi dan Hadi Prayogo (Bagian 1)

Image

Reformasi dan Harmoko 25 Tahun Lalu (Bagian 1)

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Penggiat Literasi-Tutor-Penulis & Penerbit Buku -- PALEMBANG - INDONESIA