Stop Kriminalisasi Guru dan Butuh Komisi Perlindungan Guru

Eduaksi  

Aksi solidaritas para guru untuk Sularno di PN Lubuklinggau. (FOTO : www.hibar.pgrikabupatenbandung.id/)

Pada putusan Mahkamah Agung (MA) tahun 2016 membebasakan guru tersebut dengan pertimbangan “Apa yang dilakukan terdakwa (guru) adalah sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana dan terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan atau tindakannya tersebut karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi murid yang baik dan berdisiplin.”

Pertanyaan yang menggantung, adakah atau mau tidak para hakim menggunakan putusan MA tersebut sebagai yurisprudensi hukum dalam penanganan kasus dengan terdakwa guru yang dilaporkan orang tua siswa, termasuk terhadap terdakwa Sularno yang kini tengah menanti putusan majelis hakim PN Lubuklinggau.

Dalam perkara yang menimpa Sularno, di luar pengadilan ada pihak termasuk advokat yang berbicara bahwa siapa pun tidak bisa melakukan intervensi terhadap hakim dan putusan. Nah, jika ada yurisprudensi dalam perkara serupa dan sejenis, apakah itu bukan intervensi namanya? Berdebat sampai kiamat pun untuk urusan yang satu ini tidak akan selesai, namun memberikan pandangan tentu diperlukan untuk menghentikan kriminalisasi guru di Indonesia.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Ada pendapat Arrest Hooge Raad tanggal 10 Februari 1902 terkait dengan pertimbangan MA dalam putusannya pada 2016 tersebut bahwa, “Jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan, melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai suatu tujuan yang patut, maka tidaklah ada penganiayaan.”

Sang guru yang memberikan sanksi fisik dalam menegakan disiplin kepada siswa atau murid di sekolah bukan merupakan tindak pidana dan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana semampang sanksi fisik tersebut hanya sebagai sarana untuk mendidik dan mendisiplinkan peserta didik serta sanksi fisik yang diberikan dalam koridor dan batas kewajaran.

Jika sekolah dalam menegakan disiplin atau peraturan di sekolah tidak tegas, maka murid menjadi bebas dengan tidak mengindahkan norma-norma dan peraturan yang ada. Ada murid berpenampilan seenaknya sendiri, rambu gondrong, merokok berperilaku layaknya seorang preman, bebas bolos sekolah tanpa hukuman yang berat, meremehkan guru, dan lain sebagainya.

Seperti wacana yang muncul dalam FGD yang dilaksanakan PBH Peradi Palembang, hukum dan peraturannya sudah ada namun tetap diperlukan peran pemerintah untuk membuat standar pendidikan yang baik yang dapat membuat murid takut dalam artian yang baik.

Guru terlindungi saat atau boleh menghukum siswa yang nakal dan tidak disiplin dengan sedikit kekerasan dan hukuman fisik agar para siswa-siswi takut dan terpacu untuk belajar, patuh, taat, hormat, disiplin, bertanggung jawab, tahu aturan, dan lain sebagainya.

Komisi Perlindungan Guru atau lembaga seperti halnya Dewan Pers dalam dunia pers nasional yang melakukan penilaian terhadap karya jurnalistik melanggar kode etik pers atau tidak? Komisi Perlindungan Guru dapat melakukan hal serupa agar guru tidak semena-mena bisa dilaporkan ke polisi hanya karena menghukum siswa yang melanggar disiplin sekolah.

Dari berbagai kasus kriminalisasi guru, ke depan jangan sampai guru di sekolah beranggapan bahwa siswa itu bukan anak kandungnya sehingga tidak perlu repot - repot untuk mendidiknya. Apabila anak tersebut dihukum, maka guru akan masuk penjara. Jika pemikiran ini yang berkembang di antara guru. Apabila kondisi ini dibiarkan, maka bisa dibayangkan bagaimana moral peserta didik atau siswa nantinya. (maspril aries)

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Penggiat Literasi-Tutor-Penulis & Penerbit Buku -- PALEMBANG - INDONESIA

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image