25 Tahun Reformasi, Harmoko dan Palu Patah (Bagian 2 - Habis)
KAKI BUKIT – Pada 11 Maret 1998 digelar Sidang Umum MPR dengan agenda mensahkan Soeharto Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 1998 – 2003. Sidang umum yang diikuti seluruh anggota MPR berjumlah 500 orang dipimpin langsung Ketua MPR/ DPR Harmoko.
Pada saat hendak menutup sidang paripurna yang saat itu dihadiri Presiden Soeharto, Harmoko seperti biasa mengetok palu sebanyak tiga kali sebagai tanda ditutupnya sidang paripurna. Namun kali itu, apes palu yang dipegangnya bagian kepala terlepas atau patah terlempar ke depan meja pimpinan MPR.
Kepala palu yang patuh tepat jatuh di depan anggota Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut, putri sulung Presiden Soeharto dan Ginandjar Kartasasmita anggotar MPR dari Fraksi Karya Pembangunan (FKP). Palu tersebut kemudian diamankan oleh petugas Pengawal Presiden.
Usai sidang, seperti biasa Harmoko bersama pimpinan MPR mendampingi Presiden Soeharto meninggalkan ruangan sidang. Sambil berjalan menuju lift, di depan pintu lift Harmoko menyampaikan permohonan maaf ke Presiden Soeharto.
“Saya minta maaf, palunya patah,” katanya. Soeharto hanya tersenyum sambil menjawab, “Barangkali palunya kendor.”
Kisah palu patah tersebut sudah diceritakan Harmoko dalam buku berjudul “Berhentinya Soeharto Fakta dan Kesaksian Harmoko” yang ditulis Firdaus Syam dan terbit tahun 2008.
Apakah palu yang patah itu ada kaitannya dengan tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan mundurnya sebagai Presiden Republik Indonesia pada 21 Maret 1998 atau hanya 70 hari setelah Soeharto ditetapkan MPR sebagai Presiden Indonesia untuk masa jabatan yang ketujuh kalinya?
Di luar gedung MPR/ DPR penolakan pencalonan Soeharto sebagai Presiden Indonesia terus menggema di seantero Nusantara, setelah sidang umum MPR tuntut mundur kepada Presiden Soeharto semakin menguat.
Menghadapi penolakan pencalonan Soeharto tersebut, Harmoko yang menjabat Ketua DPP Golongan Karya (Golkar) mampu meyakinkan Soeharto agar bersedia dicalonkan kembali sebagai Presiden Indonesia untuk ketujuh kalinya. Soeharto pun terpilih dengan mulus sebagai Presiden Indonesia untuk masa jabatan 1998 – 2003 dan Sidang Umum MPR juga memilih BJ Habibie sebagai Wakil Presiden mendampingi Soeharto.
Bersamaan dengan Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR 1998, Indonesia tengah dilanda krisis multi-dimensional. Ada kerusuhan politik, krisis keuangan dan perbankan, krisis sosial, dan krisis lainnya. Saat itu nilai tukar mata uang Indonesia, yakni Rupiah terus melemah; cadangan devisa negara semakin menipis; hutang semakin membengkak, daya beli masyarakat rendah.
Seperti ditulis Harold Crouch dalam “Political Reform In Indonesia After Soeharto,” (2010), jatuhnya Soeharto yang didukung militer bukanlah akibat langsung dari perubahan sosial-politik domestik yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi, tetapi lebih disebabkan oleh interupsi mendadak yang disebabkan oleh faktor-faktor eksternal.
Menurutnya, krisis keuangan Asia yang dimulai dari Thailand pada Juli 1997, menyebabkan terhentinya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Keterpurukan ekonomi melanda Indonesia, investor hengkang dari Indonesia, pengangguran meningkat. Juga terjadi kerusuhan rasial dimana-mana.