Smart City Sebuah Impian (Bagian 2 - Habis)
KAKI BUKIT – Jika merujuk pada sejarahnya, Amerika Serikat dan Eropa merupakan negara dan benua yang menjadi pelopor enterprise smart city di dunia. IBM merupakan perusahaan dunia yang mewadahi berdirinya smart city. IBM membagi menjadi enam jenis pembagian. Keenam jenis pembagian smart city tersebut meliputi Smart Economy, Smart Mobility, Smart Governance, Smart People, Smart Living, dan Smart Environment. Enam jenis pembagian tersebut saling melengkapi dengan penjelasan Frost & Sullivan di atas.
Arman Syah Putra dalam penelitannya, “Smart City : Konsep Kota Pintar di DKI” (2019) mendefinisikan kota pintar adalah suatu konsep sistem yang berada di sebuah kota, dengan keseluruhan sistem yang ada akan mempermudah semua pihak yang terkait di dalam suatu kota tersebut. Banyak negara berkembang dan negara maju yang sudah menuju kota pintar, karena kota pintar dianggap sebagai kota yang canggih dan sangat maju.
Sudah banyak kota utama di dunia utama yang sudah mengimplementasikan konsep smart city misalnya New York, Seoul, Tokyo, Shanghai, Singapore, Amsterdam, London, Kairo, Dubai, Kochi dan Malaga. Akan tetapi tidak mudah mewujudkan impian smart city tersebut, dibutuhkan pemikiran strategis dan kreatif.
Kota-kota yang disebut smart city pada awalnya memiliki terobosan baru dalam penyelesaian masalah di kotanya, yang kemudian sukses meningkatkan performa kotanya. Pembangunan kota-kota menuju smart city diawali dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang biasanya bersifat parsial, pada masalah-masalah prioritas.
Contoh, Amsterdam di Belanda awalnya mendasarkan penggunaan ICT untuk mengurangi polusi, atau Kota Tallinn ibukota Estonia yang memulai pengelolaan kota yang cerdas dari segi pemerintahannya dengan e-government dan menggunakan smart ID card dalam pelayanan bagi penduduknya. Di Korea Selatan, Kota Songdo mendasarkan pengembangan kota berbasis ICT untuk mengembangkan Songdo sebagai pusat bisnis internasional.
Di Indonesia, selain tiga kota yang masuk dalam daftar Smart City Index (SCI) 2023, ada banyak kota yang mengklaim sebagai smart city. Namun faktanya, kota tersebut tidak pintar-pintar amat.
Mengutip Chandra Eko Wahyudi Utomo dan Mochamad Hariadi dalam “Strategi Pembangunan Smart City dan Tantangannya bagi Masyarakat Kota,” (2016), “Penerapan smart city di beberapa kota di Indonesia ternyata memiliki berbagai kelemahan dan kelebihan. Ternyata penerapan konsep smart city di setiap kota di Indonesia memiliki latar belakang yang berbeda.”
Smart city dapat dikatakan sebagai sebuah impian dari hampir semua negara di dunia. Untuk mewujudan kota pintar atau atau smart city menurut Ahmad Nurman dalam “Manajemen Perkotaan” (2013), umumnya didasarkan pada 3 hal. Pertama faktor manusia, kota dengan manusia-manusia yang kreatif dalam pekerjaan, jejaring pengetahuan, lingkungan yang bebas dari kriminal.
Kedua faktor teknologi, kota yang berbasis teknologi komunikasi dan informasi. Ketiga faktor kelembagaan, masyarakat kota (pemerintah, kalangan bisnis dan penduduk) yang memahami teknologi informasi dan membuat keputusan berdasarkan pada teknologi informasi.
Untuk mewujudkan smart city pada seluruh kota di Indonesia butuh kesamaan paradigma mengenai kota pintar, butuh regulasi, butuh kerja sama yang baik di antara pelbagai pihak sebagai bentuk pelayanan publik kepada warga kota.
Pemerintah Daerah tidak bisa hanya sendirian menerapkan smart city, melainkan harus bersama-sama dengan semua pihak, akademisi, swasta, dan komunitas guna membentuk suatu Smart City Ecosystem yang integrated and sustainable.
Smart city juga sebagai fenomena yang terus berkembang. Menurut Bolívar dan AJ Meijer (2013), membuat sebuah kota untuk semakin pintar adalah sebuah kewajiban dan tidak dapat ditentang keberadaannya. Catriona Manville melengkapi dengan pendapatnya, smart city merupakan isu penyelesaian permasalahan dan layanan kota melalui maksimalisasi TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) atau ICT (Information and Communication Technology). (maspril aries)