Ekspor Pasir Laut Sudah Sejak Tahun 1970 ke Singapura dan Johor Bharu (Bagian 1)
KAKI BUKIT – Dulu awal tahun 2000-an jika berangkat menuju Singapura atau Johor Bharu di Malaysia dengan berlayar dari pelabuhan Batam Centre atau Pelabuhan Batu Ampar di Batam, kerap melihat kapal-kapal tongkang berukuran besar berlayar di Selat Singapura atau Selat Malaka tengah membawa gundukan pasir.
Pemandangan yang sama juga terlihat jika berlayar di Selat Bangka akan bertemu kapal tongkang besar menuju ke pulau Jawa. Kapal tongkang ini berbeda dengan yang dijumpai saat berlayar dari Batu Ampar di Batam menuju pelabuhan Stulang Laut di Johor Bahru. Kapal tongkang di Selat Bangka ini tengah mengangkut batu bara dari Sumatera Selatan (Sumsel) untuk dikirim ke pulau Jawa memutar turbin PLTU di sana.
Pada awal tahun 2000-an adalah masa jayanya ekspor pasir laut dari Indonesia dengan pasar utamanya Singapura. Kapal tongkang itu membawa pasar laut yang dikeruk atau ditambang dari laut di sekitar pulau yang ada di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) ada juga hasil penambangan dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) dan Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar).
Kini isu tentang ekspor laut kembali mengemuka setelah Presiden Joko Widodo membuka kran ekspor pasir laut yang ditutup sejak 20 tahun lalu. Presiden telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di laut. Aturan tersebut memuat rangkaian kegiatan pengangkutan, penempatan, penggunaan, dan penjualan, termasuk ekspor hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut.
20 Tahun lalu, pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan SKB Nomor 89/MPP/Kep/2/2002, Nomor SKB.07/MEN/2/2002, dan Nomor 01/MENLH/2/2002 yang kemudian digantikan dengan Keputusan Menteri Perindustrian No.117/ MPP/Kep/ 2/ 2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut dari seluruh wilayah Indonesia.
Alasan pelarangan ekspor adalah untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas. Kerusakan lingkungan tersebut berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia yang ada di wilayah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) sebagai akibat penambangan pasir. Salah satunya Pulau Nipah.
Pada masa itu salah satu sumber eksploitasi pasir laut yang diekspor ke Singapura adalah berasal dari Pulau Nipah yang merupakan pulau terluar dan terdepan Indonesia. Namun akibat penambangan dan pengerukan pasir secara besar-besar selama bertahun-tahun membuat Pulau Nipah mengalami kondisi kritis dan pulau ini hampir tenggelam.
Alasan lainnya belum selesainya kesepakatan batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura. Dan hancurnya harga patokan ekspor (HPE) yang ditetapkan pemerintah karena ulah “mafia pasir laut.”
Menurut Dina Sunyowati dalam “Rancangan Model Undang-Undang Penataan Ruang Pesisir dan Laut Daerah Berdasarkan Prinsip Integrated Coastal Zone Management” (2010), hasil dari penambangan dan ekspor pasir laut dari Indonesia sejak 1970 dan berakhir dengan penutupan tahun 2003 diperkiran mencapai Rp50,35 triliun/ tahun.
Penambangan pasir laut di Kepri atau dulu masuk dalam Provinsi Riau telah ada sejak tahun 1970-an. Waktu itu pasir laut mulai menjadi komoditas ekonomi yang ditawarkan kepada Pemerintah Singapura. Menurut Riki Rahmad dalam “Penambangan Pasir Laut (Sejarah, Pengaturan, dan Dampak),” berdasarkan survei sudah sekitar 300 juta meter kubik pasir dari Indonesia yang digunakan Singapura untuk memperluas daratannya.
Pada masa Orde Baru, pengelolaan pasir laut pada tahun 1970-1990 di bawah Departemen Pertambangan dan Energi. Pada tahun 1991-1997 kewenangan pengelolaan pasir laut diserahkan kepada Otorita Batam. Tahun 1998- 2000 kembali pengelolaanya ke Departemen Pertambangan dan Energi.
Lalu sejak tahun 2001 seiring dengan otonomi daerah berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 berada di bawah pemerintah daerah, yaitu Pemerintah Provinsi Riau (sebelum pemekaran menjadi Provinsi Kepri).
Gubernur Riau menerbitkan Keputusan Gubernur Nomor 42 Tahun 2000 tentang Pembuktian Kesanggupan dan Kemampuan Pemohon Kuasa Pertambangan, Kontrak Karya, dan Kontrak Karya Batu Bara.
Ramainya masalah ekspor pasar laut pasca SK Gubernur Riau tersebut, lalu Presiden pada 31 Agustus 2001 memberi instruksi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai Ketua Harian Dewan Maritim Indonesia untuk menangani permasalahan pasir laut tersebut.
Tanggal 7 Februari 2002 Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan Gubernur Riau sepakat untuk membenahi kembali sistem pengusahaan dan ekspor pasir laut. Pada tanggal 14 Februari 2002 Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Menteri Lingkungan Hidup mengeluarkan keputusan bersama untuk menghentikan sementara ekspor pasir laut. (maspril aries)