Gaya Hidup

Nasib Warung Bedalu dan Prabumulih Pasca Jalan Tol

Warung "Bedalu" di Kota Prabumulih, Sumatera Selatan yang ramai pengunjung. (FOTO : Yenrizal)

Catatan Yenrizal

KAKI BUKIT – Hiruk pikuk kendaraan masih terdengar. Jalan lintas itu tetap saja padat dilewati, kendati sinar matahari sudah beranjak ke ufuk barat. Petang menjelang magrib, gadis muda itu sudah selesai berdandan, rapi dan polesan bedak tipis menghias pipi.

Tenda beratapkan plastik terpal sudah terpasang, berikut jejeran meja dan kursi plastik sudah pula tersusun di trotoar jalan. Berbagai piring terhidang lauk pauk, mulai dari tempe bacem, ikan goreng, ati ampela, ayam goreng, telur bulat dan gulung, tak lupa sambel terasi dan lado hijau sudah tertata rapi. Box nasi penuh seukuran 10 kg mengepulkan asap menebar aroma. Sore itu, “kantornya” segera dibuka. Warung tenda jalan lintas Prabumulih-Palembang siap beroperasi.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Ita (bukan nama sebenarnya) berusia sekitar 17 tahun, asli dari Belido, mulai duduk manis, sesekali tangannya menepiskan kipas penghalau debu dan lalat. Ita tak sendirian, di kiri kanan tendanya juga berjejer warung-warung “bedalu” (warung makan khusus malam), dan hampir semuanya ditunggui oleh pramuniaga wanita-wanita muda. Jam tugas mereka cukup unik, 17.00 sore sampai subuh, atau sampai hidangan habis. Karena itu, Ita dan kawan-kawannya hanya bisa ditemui di malam hari, siang waktunya tidur.

Beberapa mobil mulai menepi, sebagian ada yang mampir ke warung Ita, sebagian ke sebelah. Ita segera menyingkirkan Hp yang sedari tadi dimainkan. Ia pun mulai sibuk menyendok nasi dan mengambil lauk sesuai pesanan pembeli. “Mau minum apa kak, kopi atau teh ?” tanyanya.

Senyumnya kelihatan dipaksakan, Ita berusaha ramah tapi raut lelah tak bisa ia hilangkan.

“Ah dek, senyum dikitlah. Kalau Susu ada ndak?” ujar si pembeli menggoda. Ita hanya melempar senyum tipis.

Digoda pembeli dan dirayu adalah makanan biasa bagi Ita dan kawan-kawan. Agaknya itu sudah resiko pekerjaan. Wanita muda, wajah lumayan, jualan malam hari pula. Ita sepertinya sadar bahwa dengan ia begadang dan berjualan setiap malam dipinggir jalan, godaan pembeli pasti menghampiri. Lagi pula, bukankah keberadaan dirinya memang menjadi daya tarik tersendiri untuk mengundang pembeli mampir, alih-alih faktor makanan.

“Tapi saya tak pernah meladeni, biasalah hanya sekedar main-main saja. Sekedar menggoda, tak lebih,” ujar Ita.

Jalan lintas Palembang - Prabumulih memang tergolong jalur yang ramai dan hidup siang malam. Jalur ini menjadi perlintasan mereka yang berasal dari Pagar Alam, Lahat, Muara Enim, Baturaja dan Muara Dua menuju Palembang. Saat ini Prabumulih adalah jalur utama yang harus ditempuh. Melihat tingginya intensitas pengguna jalan, kehidupan ekonomi masyarakat di sepanjang jalan tersebut juga menggeliat. Ita dan kawan-kawan adalah salah satunya.

Selain itu juga hidup para tukang tambal ban, rumah makan, warung-warung makanan, penjual nanas, penjual kerupuk kemplang, hingga penjaja makanan diperlintasan kereta api. Jalan raya memang menjadi tumpuan ekonomi masyarakat, hubungan simbiosis mutualistis terjalin. Jika dilihat secara lebih detil sebenarnya pergerakan ekonomi masyarakat di daerah-daerah ini adalah karena karena faktor jalan lintas.

Malam terus bergulir, hembusan angin semakin kuat. Ita mulai merapatkan jaket. Malam itu sedikit mendung walaupun hujan tak jua turun. Beberapa pembeli terus berdatangan ke warung Ita, baik mobil maupun motor. Ditatapnya termos nasi besar itu, tinggal separoh. Jam sudah menunjukkan pukul 12.00 malam. Saat pembeli tak ada yang mampir, Ita akan sibuk dengan Hp nya.

Ita bercerita bahwa ia bukanlah pemilik warung tersebut. Ia hanya seorang karyawan. Bosnya berasal dari Prabumulih, biasanya ia datang menjelang buka warung dan kemudian saat akan tutup. Yang memasak dan membuat makanan adalah bosnya. Ita tak tahu menahu soal itu, baginya hanya melayani pembeli dan memastikan semua dagangan habis dalam satu malam. Dan biasanya memang habis satu termos besar. Bos Ita sendiri memiliki dua unit warung tenda.

“Setiap malam saya digaji sebesar 50 ribu rupiah, sama dengan kawan-kawan lain,” ujarnya lirih.

Gaji tepatnya upah sebesar Rp50 ribu dengan beban pekerjaan setiap malam begadang, sebenarnya jauh dari kata seimbang atau pantas apa lagi mau disebut layaknya upah minimum. Bagaimana jika Ita jatuh sakit karena begadang tiap malam, bagaimana jika Ita ingin libur sehari atau dua, bagaimana jika terjadi hujan deras dan Ita harus berhujan-hujan di malam hari, dan masih banyak bagaimana lainnya. Yang jelas Ita tentu butuh vitamin, butuh asupan yang bergizi, sesekali butuh istirahat, mungkin perlu juga berkumpul dan bermain bersama teman seusianya.

Ita tak sempat lagi memikirkan itu. Baginya bekerja akan menghasilkan uang, walau itu sebesar 50 ribu rupiah per malam. Itu mungkin cukup bagi Ita karena ia tak punya tanggungan keluarga, masih gadis. Di sini ia sadar, jika ia pada saatnya nanti berkeluarga, tentu tak akan bisa lagi bekerja seperti sekarang. Suami mana pula yang akan membiarkan istrinya tiap malam keluar dan berada di pinggir jalan. Mungkin di situlah nanti masa Ita akan beristirahat.

Dari kejauhan Kota Prabumulih, hiruk pikuk pembangunan sedang berlangsung pula. Mobil-mobil truk pengangkut tanah, semen, besi, dan segala macam alat konstruksi sedang berbenah. Mulai dari Indralaya sampai ke Muara Enim, diperkirakan akhir 2022 akan terhubung dengan jalan tol. Ya jalan tol. Bisa dipastikan dengan dibukanya jalur ini, maka akses Palembang Muara Enim akan semakin singkat, mungkin sekitar 1,5 jam sudah bisa ditempuh.

Lantas dimana Prabumulih? Kota ini berada di tengah-tengah antara Indralaya dan Muara Enim, dan akan dilompati oleh jalan tol. Bisa dipastikan pula bagi mereka yang akan menuju Muara Enim, Lahat, Pagar Alam, dari Palembang akan langsung masuk tol dan Prabumulih hanya kelihatan dari pinggiran tol semata. Saat jalan tol beroperasi maka Prabumulih akan menjadi kota yang signifikan terkena dampaknya, bisa dipastikan itu. Ramainya lalu lintas seperti sekarang, akan merosot drastis saat lalu lalang tol sudah dibuka.

Ita dan kawan-kawannya hanya bisa menatap dari kejauhan. Entah mereka sadar atau tidak dengan perubahan yang akan terjadi saat tol sudah dibuka, yang jelas “kantor” mereka sampai saat ini masih menjadi pelabuhan istirahat bagi pelintas jalur. Mungkin pada saatnya nanti Ita akan beristirahat, sebagaimana juga tukang tambal ban, pedagang asongan di perlintasan rel kereta api, bengkel, rumah makan, warung kaki lima dan beragam pernak-pernik jalur Palembang-Prabumulih. Pagar tol nanti yang akan jadi saksinya, saksi bagi “istirahatnya” Ita dan kelompok-kelompok lain yang menumpangkan hidup dari lalu lalang para pelintas jalur Prabumulih – Muara Enim.

(Dr. Yenrizal, M.Si Staf Pengajar Fisip UIN Raden Fatah, Palembang)

Berita Terkait

Image

Sebuah Buku Tipis dari Walhi Sumsel tentang Energi Kotor

Image

Ada Tenun Serat Nanas Prabumulih dengan ATBM Pertamina

Image

Zero ODOL Selamatkan Anggaran Negara (Bagian 2 - Habis)

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Penggiat Literasi-Tutor-Penulis & Penerbit Buku -- PALEMBANG - INDONESIA