Saya Mau Belajar Jurnalisme Radio
KAKI BUKIT – Pada sebuah orientasi jurnalistik yang diikuti wartawan muda dan milenial, seorang peserta yang sehari-hari adalah reporter sebuah radio bertanya, “Mengapa pada pelatihan ini tidak ada materi tentang jurnalisme radio?” katanya.
Memang pada orientasi wartawan tersebut sebagian besar peserta adalah wartawan atau jurnalis yang berasal dari media cetak dan media online, sementara jurnalis yang berasal dari radio hanya satu orang. Materi yang disampaikan para nara sumber diantaranya semuanya merujuk pada produk media cetak atau online, seperti teknik menulis berita, teknik wawancara dan teknik menulis feature.
Materi yang disampaikan dalam orientasi, tidak ada tentang jurnalisme radio atau teknik wawancara radio. Juga para pemateri seluruhnya berlatar belakang sebagai wartawan di media cetak (surat kabar) atau wartawan media online. Di radio tempatnya bekerja juga tidak ada reporter atau redaktur yang punya latar belakang atau pernah ikut pelatihan jurnalisme radio.
Pertanyaan tersebut harus mendapat jawabannya karena jurnalisme radio bukan anak tiri dalam lanskap jurnalistik atau pers. Tak salah jika sang reporter radio meminta, “Saya ikut orientasi untuk bisa belajar tentang jurnalisme radio.”
Pada era digital saat ini platform media massa yang tersedia semakin beragam, dari yang dulu hanya media cetak dan media elektronik (televisi dan radio) kini ada platform media online atau daring. Setiap media massa tersebut memiliki keunikannya masing-masing, satu platform media massa berbeda dengan media massa lainnya.
Khusus media massa radio sampai kini adalah media yang mampu terus bertahan di tengah gempuran kehadiran media online yang membuat media cetak yang menurut sebagian orang tengah berada pada masa senja kala.
Radio adalah salah satu media massa elektronik tertua di muka selama hampir satu abad lebih tetap eksis dan radio siaran masih bertahan mengatasi persaingan keras media massa lainnya. Theo Stokkink dalam “The Professional Radio Presenter: Penyiar Radio Profesional” (1977) menyebutkan bahwa “Radio adalah media yang buta, maka pendengarnya mencoba untuk mengevaluasikan apa yang didengarnya dan mencoba untuk memvisualisasikan apa yang didengarnya dan mencoba menciptakan si pemilik suara dalam bayangan mereka sendiri.”
Kemudian dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, menjelaskan “Penyiaran radio adalah media komunikasi massa dengar yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara secara umum dan terbuka, berupa program yang terstruktur dan berkesinambungan.”
Kini media massa radio atau radio hadir dengan keunikan tersendiri yang membuat pendengar bisa membedakan, radio yang didengarnya adalah Radio A dengan segmen pendengar A, demikian pula dengan radio lainnya. Keunikan itu bisa ditemukan dari bahasa atau pilihan kata yang digunakan penyiar dalam penyampaian informasi, musik atau lagu, demikian pula dengan efek atau suara. Juga masing-masing radio siaran punya jingle radio yang khas. Itu menjadi identitas masing-masing stasiun radio, dari Radio Republik Indonesia (RRI) sampai radio swasta dan radio komunitas.
Stasiun radio sesama stasiun radio saling bersaing untuk merangkul pendengarnya. Radio juga bersaing dengan televisi dan media cetak atau media online untuk menyajikan informasi. Bahkan kini kehadiran media massa juga menawarkan konvergensi media. Seperti media online, selain menyajikan berita cetak mereka miliki kanal media pandang dan dengar seperti layaknya televisi dan radio yang bisa disaksikan secara live streaming di layar komputer atau telepon seluler (ponsel). Demikian pula dengan radio, RRI punya kanal RRI Net.
Seperti media massa lainnya, radio juga berfungsi sebagai media ekspresi, komunikasi, informasi, pendidikan, dan hiburan. Radio juga memiliki kekuatan terbesar sebagai media imajinasi atau media yang buta, radio menstimulasi banyak suara, dan berupaya menvisualisasikan suara penyiar ataupun informasi faktual melalui pendengarnya.
Di tengah persaingan dengan media kompetitor yang semakin canggih, namun radio tetap saja mendapat perhatian di hati masyarakat. Radio adalah media auditif (hanya bisa didengar), tetapi murah, merakyat, dan bisa dibawa untuk didengar di mana saja berada.
Menurut Errol Jonathans dalam buku “Politik dan Radio – Buku Pegangan bagi Jurnalis Radio” yang diterbitkan Friedrich-Naumann-Stiftung (2000) menyebutkan, meski radio tetap unggul dalam karakter “komunikasi intim yang imajinatif” tetapi radio bukan lagi satu-satunya sumber yang pelayanan informasinya tercepat. Kecepatan saat ini bukan lagi segala-galanya yang bisa dibanggakan radio. Warga dunia kini dimanjakan oleh kemudahan mengakses keragaman informasi yang tetap menjadi kebutuhan penting umat manusia di muka bumi. Fakta ini menjadi tantangan bagi media massa radio.