Budaya

Antara Film Dirty Harry dan Film Dirty Vote Sebagai Dokumentasi Pemilu Kita


Zainal Arifin Mochtar.  (FOTO: Dok. Dirty Vote Official)
Zainal Arifin Mochtar. (FOTO: Dok. Dirty Vote Official)

Untuk kamu yang ragu, atau meragukan tentang film Dirty Vote, jangankan film dokumenter, film-film pemenang festival yang sudah dinilai dewan juri kompeten sebagai film terbaik juga tidak terlepas dari pro dan kontra. Mengutip seorang advokat senior Todung Mulya Lubis yang tengah menjadi Deputi Hukum salah satu pasangan capres – cawapres mengatakan, “Ini film yang bagus, anda boleh tidak setuju, bagi saya film ini adalah pendidikan politik yang bagus”.

Todung yang pernah menjadi Duta Besar Indonesia di Norwegia mengingatkan, jika menonton film ini (Dirty Vote) jangan baperan. “Banyak orang baperan kalau dikritik, baperan ini berbahaya. Kalau anda tidak setuju dengan apa yang dibuat dalam film itu, bantah saja film itu dengan membuat film yang lain. Kritik mesti dibalas dengan satu kritikan yang lain. Jangan cepat-cepat membuat laporan ke pihak kepolisian”.

Film ini menggunakan judul bahasa Inggris “Dirty Vote” namun yang pasti film ini adalah produksi kreatif anak bangsa yang menggunakan bahasa Indonesia. Judul film ini mengingatkan pada film yang sangat populer tahun 1970-an film produksi Hollywood berjudul “Dirty Harry.” Film ini dibintangi Clint Eastwood berperan sebagai Inspektur Polisi Harry Callahan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Inspektur Polisi Harry Callahan seorang detektif polisi menentang atasannya dan mempertaruhkan nyawa orang-orang tak berdosa demi menangkap penembak misterius yang meneror San Francisco.

Kembali ke film Dirty Vote, adalah film hasil dari kolaborasi lintas CSO (Civil Society Organitation) atau masyarakat sipil dan merupakan film dokumenter eksplanatori yang disampaikan oleh tiga ahli hukum tata negara yang membintangi film ini.

Menurut Ketua Umum SIEJ sekaligus produser film, Joni Aswira dalam keterangan pers-nya, dokumenter ini sesungguhnya juga memfilmkan hasil riset kecurangan pemilu yang selama ini dikerjakan koalisi masyarakat sipil. Biaya produksinya dihimpun melalui crowd funding, sumbangan individu dan lembaga.

“Biayanya patungan. Selain itu Dirty Vote juga digarap dalam waktu yang pendek sekali sekitar dua minggu, mulai dari proses riset, produksi, penyuntingan, hingga rilis. Bahkan lebih singkat dari penggarapan film End Game KPK tahun2021”, katanya.

Berita Terkait

Image

Jurnalisme Politik dan Berita Politik

Image

Kampanye Anti Politik Uang dari Desa Sumaja Makmur

Image

Bobby Rizaldi Energi Ekstra Partai Golkar Sumsel pada Pemilu 2024

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Penggiat Literasi-Tutor-Penulis & Penerbit Buku -- PALEMBANG - INDONESIA