Malioboro Sekarang Citra Malioboro “Tempo Doeloe”
KAKI BUKIT, Yogyakarta – Dulu sekitar tahun 1989 pernah menonton film Indonesia berjudul Malioboro. Film karya Sutradara Chaerul Umam, tersebut dibintangi Ira Wibowo, Nungky Kusumaastuti dan Sigit Haryadi. Ceritanya filmnya tentang kisah cinta seorang wartawan kepada dua perempuan. Film juga menampilkan latar sosial perubahan nilai di Yogyakarta, tentang moral dan Jalan Malioboro sendiri yang hiruk-pikuk.
Film tersebut bukan film pertama yang menampilkan lokasi cerita di Malioboro. Sebelumnya tahun 1951 Produser Djamaluddin Malik sudah memproduksi film berjudul Sepandjang Malioboro dengan bintang-bintang masa lalu diantaranya, Darussalam, S Bono, Titien Sumarni, Rd Mochtar, Netty Herawati, dan Awaludin.
Kedua film Indonesia tersebut menggambarkan Jalan Malioboro sesuai dengan masanya. Malioboro masa dulu dengan Malioboro masa sekarang. Maliboro yang sekarang sejak 1 Februari 2022 telah berubah setelah seluruh pedagang di sepanjang Jalan Malioboro direlokasi. Ada sekitar 2.000 PKL yang dipindahkan.
Gubernur DI Yogyakarta Hamengku Buwono X melakukan relokasi pedagang kaki lima (PKL) Malioboro menuju dua lokasi di eks Dinas Pariwisata DIY dan eks Bioskop Indra. “Jadi, tidak aku wes ngenteni 18 tahun, ora mundur 3 tahun, aku sik ngenteni wes 18 tahun,” kata Sultan kepada wartawan sebelum relokasi dilakukan.
Relokasi pun berjalan lancar, kini segala barang dagangan PKL Maliboro bisa dibeli di lapak-lapak pedagang yang berkumpul di Teras Maliboro 1 dan Teras Malioboro 2. Memang saat melintas di Jalan Malioboro sekarang merasakan seperti ada yang hilang. Keramaian dan keriuhan para PKL dengan wisatawan yang melintas.
Kini teras Maliboro 1 dan 2 telah mulai menjadi bagian dari rantai wisata jika wisatawan berkunjung ke Yogyakarta khususnya ke Jalan Malioboro yang sudah sejak lama menjadi ikon kota yang pernah menjadi ibu kota Republik Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan.
Relokasi PKL di Malioboro memang sempat memicu pro kontra, tetapi semua itu hanya terjadi di media massa khususnya media online. Dengan kondisi Maliboro sekarang ada yang merasakan kehilangan sesuatu, seperti keramaian di sepanjang jalan tersebut.
Tetapi yang lain menyatakan, relokasi PKL tidak akan menghilangkan ciri khas Malioboro, namun justru mengembalikan citra Malioboro “tempo doeloe” yang nyaman bagi pejalan kaki sambil menikmati keindahan Kota Yogyakarta di sepanjang Jalan Malioboro. Memang benar, berjalan kaki di sepanjang Jalan Malioboro sekarang terasa nyaman tak perlu berdesak-desakan lagi.
Sultan sudah menyatakan tidak akan ada lagi PKL yang berjualan di pedestrian Malioboro termasuk para pemilik toko. Pemda DIY dan Pemkot Yogyakarta akan mengembalikan ruang lima meter dari toko untuk ruang pejalan kaki.
Walau tidak ada PKL, Jalan Malioboro sekarang masih tetap seperti yang dulu-dulu. Di kiri kanan jalan masih ada bangunan masa lalu yang bisa disinggahi. Masih ada jam antik berdiri di tengah jalan, masih ada Gedung Agung atau istana Presiden. Masih ada benteng Vredeburg dan Pasar Beringharjo, serta masih ada andong (dokar).
Sultan juga menegaskan tidak akan ada lagi PKL yang berjualan di pedestian Malioboro termasuk para pemilik toko. Pemda DIY dan Pemkot Yogyakarta akan tegas mengembalikan ruang lima meter dari toko untuk ruang pejalan kaki.
Jalan Malioboro adalah garis lurus dari Tugu Jogja dengan Keraton Yogyakarta. Kawasan ini terletak tepat di sumbu filosofi atau sumbu imajiner Yogyakarta. Pasca relokasi PKL Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menyampaikan, ke depan selasar Malioboro akan diperbaiki sesuai dengan bangunan arsitek dan heritage yang ada di Yogyakarta. Sejak 2019 kawasan ini telah diusulkan menjadi salah satu Warisan Budaya Dunia Tak Benda ke UNESCO. (maspril aries)