Malari Gerakan Mahasiswa 50 Tahun Lalu

Politik  

Massa yang membakar mobil pada peristiwa Malari 1974. (FOTO: Ist/ Republika)
Massa yang membakar mobil pada peristiwa Malari 1974. (FOTO: Ist/ Republika)

Setelah melewati masa transisi dari Orla ke Orba, penguasa Orba di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto menerbitkan berbagai kebijakan, salah satu kebijakan pemerintah Orba yang bercorak kapitalis. Kebijakan tersebut menurut Gili Argenti dalam “Gerakan Sosial di Indonesia : Studi Kasus Gerakan Mahasiswa Tahun 1974” (2016), yaitu membuka masuknya investasi dan bantuan modal asing.

Tahun 1967 pemerintah menerbitkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) sebagai upaya pemerintah untuk menarik investasi asing masuk ke Indonesia. Kebijakan investasi asing tersebut diantaranya dengan cara mengeksploitasi Sumber Daya Alam (SDA). Pemerintah Orba mengupayakan pemanfaatan hutan-hutan tropis di luar Jawa dan pemanfaatan sumber daya tambang serta minyak bumi kepada pihak swasta.

Praktek ekonomi dan politik tersebut yang membuat mahasiswa pada berbagai kampus, khususnya kampus-kampus besar di Jawa saat itu bergerak yang kemudian memunculkan gerakan mahasiswa tahun 1974. Gerakan mahasiswa ini menurut Gili Argenti tidak muncul dalam ruang yang kosong, ada rangkaian peristiwa politik, sosial dan ekonomi yang menjadi latar belakang kemunculan kembali gerakan mahasiswa atau kelas menengah Indonesia masa itu.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Menurut Hariman Siregar yang menjadi tokoh sentral gerakan mahasiswa 1974 yang berujung huru-hara tersebut, adalah berangkat dari keprihatinan akan situasi kehidupan berbangsa bernegara saat itu, sehingga mahasiswa memutuskan untuk bergerak mengingatkan pemerintah atas strategi kebijakan pembangunan yang diambil.

Dalam buku “Hariman Dan Malari : Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing” menyebutkan ada beberapa alasan mengapa mahasiswa Indonesia memutuskan untuk bangkit melawan : (1) strategi pembangunan Orde Baru mengakibatkan hanya segelintir orang saja yang dapat menikmati hasil pembangunan, mereka paling-paling terdiri dari elit militer, elit birokrasi sipil, pengusaha dan komperador asing.

(2) Atas nama stabilitas, represi politik di dalam negeri meningkat, hak-hak sipil dan politik warga negara terabaikan, akibatnya semakin sulit bagi rakyat secara politik memperjuangkan hak-haknya, dan (3) Ketergantungan pada pihak asing semakin meningkat, negara-negara donor dan lembaga-lembaga keuangan internasional dapat dengan mudah memaksakan kehendaknya, seperti terlihat dalam tender proyek telekomunikasi dan beberapa paket deregulasi yang disodorkan Bank Dunia.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Penggiat Literasi-Tutor-Penulis & Penerbit Buku -- PALEMBANG - INDONESIA

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image